FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSETARAAN GANDER
MATA KULIAH KESEHATAN REPRODUKSI
DI SUSUN OLEH :
NIM(14292021008) Nur Ratnadilla
NIM(14292021012) Rosilawati
NIM(14292021016) Yusti Khaerani
Prodi D III Kebidanan Semester 2
Tahun Ajaran 2014/2015
KATA PENGANTAR
Alahamdulilah tiada kata-kata yang paling Indah selain ucapan
syukur kepada Allah SWT. Karena izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSETARAAN GANDER. Solawat dan salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai qudwah dalam menjalani hidup
ini.
Penulis menyadari keberhasilan tidak terlepas dari berbagai pihak,
baik bantuan moril maupun material. Untuk itu dengan hati yang tulus Dan ikhlas
penulis sampaikan rasa hormat Dan terimakasih kepada :
1. Ibu Eni Anjarsari, SE .,
selaku ketua yayasan STIKes Fatthir Husada.
2. Bapak Rakhmat Gumilar
Rukhman, S.Kp., M.Kes., selaku ketua STIKes Fatthir Husada.
3. Ibu Yusni Purwanti,
M.Kes., Selaku dosen mata kuliah "Kesehatan Reproduksi"
4. semua teman-teman satu
perjuangan program pendidikan D III Kebidanan angkatan 2014
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan yang perlu di perbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik Dan
saran yang berguna demi kesempurnaan makalah ini.
Tangerang, 26 Maret 2015
Penyusun
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………….………………………………………………………………………………. i
DAFTAR
ISI………………….………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………. 1
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………. 1
A.
Latar Belakang…………………..…………………………………………………………….. 1
B.
Rumusan Masalah……………….…………………………………………………………… 2
C. Tujuan………………………………………..……………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….. 3
A.
Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gander……………………………… 3
B.
Faktor-faktor
penyebab Ketidaksetaraan Gander di
keluarga miskin……… 4
BAB III PENUTUP………………..……..…………………..……………………………………… 8
A. Keimpulan………………………………………………………………………………………. 8
B. Saran……………………………………..……………………………………………………….. 8
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah gender differences antara laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi
sosial kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Akan tetapi
sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya
mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya : sifat gender
laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi sosial itu membuat
laki-laki terlatih dan termotivasi menuju dan mempertahankan sifat yang
ditentukan tersebut yang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar.
Sebaliknya, karena konstruksi sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut,
maka sejak kecil, sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi
dan ideologi kaum perempuan, serta perkembangan fisik dan biologis mereka.
Karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan, akhirnya sulit dibedakan
apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis ketentuan Tuhan
Persoalannya,
jika konstruksi gender dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender mempengaruhi
keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan
perempuan berpikir bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan
yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap
sebagai ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai kelompoklah yang menciptakan
perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap
sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan pembagian
itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya penuh
dengan proses, negosiasi, retensi maupun dominasi. Akhirnya lama kelamaan
pembagian keyakinan gender tersebut dianggap alamiah, normal dan kodrat
sehingga bagi mereka yang mulai melanggar dianggap tidak normal dan melanggar
kodrat.
Keluarga merupakan unit social terkecil dalam
masyarakat. Seperangkat peran dan fungsi melekat pada keluarga antara lain;
biologis atau reproduksi, proteksi/perlindungan, ekonomi, edukasi, sosialisasi,
afeksi, religi, rekreasi dan pengendalian social. Keberhasilan keluarga
menjalankan seperangkat peran dan fungsinya akan berpengaruh pada kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Hal ini menunjukkan bahwa institusi
keluarga sangat berperan penting
(krusial) bagi pembangunan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan mensejahterakan
masyarakat dan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia
Indonesia yang dimaksud adalah manusia baik laki-laki maupun perempuan. Artinya
dalam pembangunan, baik proses pembangunan maupun pemanfaatan hasil
pembangunan, pemerintah tidak membedakan kali-laki dan perempuan.
Namun di berbagai sektor
kehidupan banyak indikator menunjukkan perempuan tertinggal dibanding laki-laki
dalam hal memperoleh kesempatan, peluang dan hasil-hasil pembangunan. Contoh
kongrit dapat dilihat pada angka melek huruf, Angka Partisipasi Kerja, proporsi
siswa/mahasiswa, dan juga dalam pengelolaan dan proses pengambilan keputusan.
Hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan gender di hampir seluruh sendi
kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan gander?
2. Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan ketidasetaraan gander?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ketidaksetaraan
gander.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor-Faktor
Penyebab Ketidaksetaraan Gender
Faktor
yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat
adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan
yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini menyebabkan sejumlah
persoalan. Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan
gender, misalnya laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional,
sedangkan kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Atau perempuan itu
sebagai ’surgo nunut neraka katut’,
perempuan itu sebagai konco wingking
(teman di belakang) berfungsi 3 M (masak,
macak, manak), meskipun M manak masih harus dipertahankan. Disamping itu
juga ada anggapan bahwa pantangan bagi laku-laki untuk bekerja di dapur untuk
memasak, mencuci maupun melakukan kegiatan rumah tangga karena rejekinya akan
seret atau malah cupar
Kebanyakan
mitos akan menguntungkan kaum laki-kali dan mendiskreditkan kaum perempuan.
Semua contoh di atas sebenarnya disebabkan karena negara Indonesia menganut
hukum hegemoni patriarki, yaitu kekuasaan ada pada garis bapak. Patriarki
menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga dan
ini berlanjut pada dominasi laki-laki dalam lingkup kemasyarakatan lainnya.
Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran
penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri,
bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, dan lain sebagainya.
Selain
hukum hegemoni patriarkis, ketidakseimbangan gender juga disebabkan karena
sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang memiliki modal besar itulah
yang menang. Hal ini mengakibatkan laki-laki yang dilambangkan lebih kuat
daripada perempuan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar.
Manifestasi ketidakadilan gender tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan
perempuan secara mantap, yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut merupakan
kebiasaan dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan
kodrat dan akhirnya diterima masyarakat secara umum.
Usaha yang
harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender nampaknya bukan hanya sekedar
bersifat individual, namun harus secara bersama dan bersifat institusional,
utamanya dapi pihak-pihak yang berwewenang kekuasaan dan memegang peran dalam
proses pembentukan gender. Untuk itu peranan pembuat kebijakan dan perencana
pembangunan menjadi sangat penting dan menentukan arah perubahan menuju
kesetaraan gender atau dapat dikatakan bahwa negara mempunyai peran dalam
mewujudkan keseimbangan gender.
Dalam
setiap perencanaan pembangunan, gender hendaknya dijadikan sebagai kunci utama
dalam memahami kegiatan apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan, berapa
banyak waktu yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, siapa yang memutuskan,
dan lain sebagainya. Perencana pembangunan hendaknya mampu menganalisis
perbedaan peran kodrati dan peran gender sehingga mengetahui hal-hal yang dapat
di ubah dan yang tidak dapat diubah serta mempertimbangkan dalam proses
perencanaan pembangunan.
B.
Faktor-Faktor Penyebab Ketidak Setaraan Gander Di Keluarga
Miskin
Kesenjangan
gender dalam masyarakat muncul bukan karena unsur kesengajaan kali-laki semata
tetapi ternyata berasal dari tradisi nenek moyang yang telah lama ada dan
menjadi nilai budaya patriarkhi. Banyak faktor penyebab kesenjangan gender
muncul dalam keluarga miskin. Berdasarkan hasil wawancara faktor kesenjangan
gender dalam kelluarga miskin disebabkan oleh hal-hal yang akan diuraikan
sebagai berikut:
a.
Konstruksi
Sosial Budaya tentang gender
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Sri, budaya
patriarkhi sudah ada sejak dahulu dan diteruskan sampai sekarang berikut
pengakuan informan:
”Sebenernyo budaya lanang jadi dominan dalem masyrakat kito sekarang kan
sudah ado sejak dulu, tapi ado yang cak di Padang yang betino lebih dihargoi
oleh wong justru yang lanangnyo idak dihargoi, mungkin karno itu jugo karno
sudah ado sejak dulu jadi yo sekarang neruske bae yang sudah ado”
”Sebenarnya budaya laki-laki jadi dominanan dalam masyarakat kita
sekarang kan sudah ada sejak dahulu, tapi ada yang seperti di Padang yang
perempuan labih dihargai oleh orang yang laki-lakinya tidak dihargai, mungkin
karena itu juga karena sudah ada sejak dahulu ya jadi sekarang meneruskan saja
yang sudah ada”
Sementara itu,
informan Vera memberikan keterangan bahwa budaya patriarkhi sudah ada sejak
nenek moyang. Berikut pengakuan informan;
”Pokoknyo sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ado kalu lanang itu
jadi kepala keluargo, yo sampe mak ini ari cak itulah”
”Pokoknya sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ada kalau laki-laki
itu jadi kepala keluarga, ya sampai sekarang seperti itulah”
Menurut
informan Siska budaya patriarki yang ada dalam masyarakat sudah ada sejak dulu.
Berikut penuturannya;
”Cak itulah kan sudah dari dulu kalu laki jadi pemimpin keluargo yo
sudah....bapak aku dulu jugo samo bae, jadi sekarang aku sudah bekeluargo
jalani bae apo yang sudah bejalan itu”
”Seperti itulah kan sudah dari dulu kalau suami jadi pemimpin keluarga ya
sudah...bapak saya juga dulu sama saja, jadi sekarang saya sudah berkeluarga
jalani saja apa yang sudah ada itu”
b. Paham
Agama Bias Gender
Informan umumnya mengaku bahwa faham agama mengandung
bias gender sepereti diperkenankannya laki-laki berpoligami. Mereka menolak
jijka suami mereka berpoligami. Berikut pengakuan para informan:
“Ai idak nian aku
kalu dio bebini lagi.....gilo mada’i anak la banyak mak ini masih nak bebini
lagi, lemak kalu kayo. Ini Cuma begawe jadi tukang becak nak bebini lagi nak
dienjok makan apo, sedangke ini bae kurang”
“Aduh saya tidak
terima kalau dia (suami) punya istri lagi.....Gila anak sudah banyak seperti
ini masih mau beristri lagi, enak kalau orang kaya. Ini Cuma bekerja jadi
tukang becak mau beristri lagi mau dikasih makan apa, sedangkan sekarang saja masih
kurang”
“Idak apo kalu
sanggup, aman pacak nak poligami dengan gaji 30 ribu sehari nyari nian aku
betino mano yang galak, aman dak gilo”
“ Tidak apa-apa
kalau sanggup, kalau bisa mau poligami dengan gaji yang 30 ribu sehari, saya
mau menemukan perempuan mana yang mau, kecuali kalau sudah gila”
“Idak lah, dak boleh
pokoknyo kalu dio nak poligami....kalu masih bae ceraike dulu aku baru boleh
dio kawen lagi”
“Tidak lah, pokoknya
dia tidak boleh kalau dia mau poligami...kalau masih saja mau poligami ceraikan
saya dulu baru dia (suami) menikah lagi”
“Kalu poligami dalem
agama kito kan diperbolehke, tapi ado syaratnyo kalu memang sanggup samo biso
adil, tapi kalu memang belom sanggup dan dak biso adil lemak dak usahlah nak
poligami”
“Kalau poligami dalam
agama kita akan diperbolehkan, tapi ada syaratnya kalau memang sanggup sama
bisa adil, tapi kalau memang belum sanggup dan tidak bisa adil lebih baik tidak
usah poligami”
Sementara
itu, jika suami membatasi ruang gerak istri ada variasi jawaban dari para
informan sebagai berikut;
“Wajar bae
sih....kan dio laki kito, jadi aman nak pegi kemano-mano nak izin samo dio tu,
kalo dak boleh yo sudah”
“Wajar saja sih..kan
dia suami kita, jadi kalau ingin pergi kemana-mana harus izin sama dia (suami),
kalau tidak boleh ya sudah”
“Dak setuju aku,
biarkelah kito ini kalu nak begawe tempat laen nyari lokak”
“Tidak setuju saya,
biarkan lah kita ini kalau mau bekerja tempat lain mencari kesempatan”
“Sebenernyo idak apo, tapi jangan dikekang nian oi....laju dak boleh
keluar rumah, kalu bininyo tu nak begawe apo diluar kan lumayan nambai duit
makan”
“Sebenarnya tidak
apa, tapi jangan dikekang sekali....lalu tidak boleh keluar rumah, mungkin saja
istri mau bekerja apa diluar kan lumayan menambahi uang untuk makan”
“Sebenernyo
jadi masalah jugo sih, sementaro laki kito meraso berhak untuk ngelakuke itu,
tapi kito ne kan perlu lah nak ado nyari gawe lain diluar sano, untuk biso jago
biar asep dapor tu tetep ado”
“Sebenarnya jadi masalah juga
sih, sementara suami kita merasa berhak untuk melakukan itu, tapi kita ini kan
perlu lah mau mencari pekerjaan lain diluar sana untuk bisa menjaga agar asap
dapur itu tetap ada”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah gender differences antara laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi
sosial kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Akan tetapi
sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya
mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya : sifat gender
laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi sosial itu membuat
laki-laki terlatih dan termotivasi menuju dan mempertahankan sifat yang
ditentukan tersebut yang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar.
Sebaliknya, karena konstruksi sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut,
maka sejak kecil, sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi
dan ideologi kaum perempuan, serta perkembangan fisik dan biologis mereka.
Karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan, akhirnya sulit dibedakan
apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis ketentuan Tuhan.
Kesenjangan gender
dalam masyarakat muncul bukan karena unsur kesengajaan kali-laki semata tetapi
ternyata berasal dari tradisi nenek moyang yang telah lama ada dan menjadi
nilai budaya patriarkhi.
B.
Saran
Seharusnya
gender tidak mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang
bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir bertindak sesuai dengan ketentuan
sosial tersebut. Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan
perbedaan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar