Sabtu, 11 April 2015

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSETARAAN GANDER

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSETARAAN GANDER
MATA KULIAH KESEHATAN REPRODUKSI



DI SUSUN OLEH      :

NIM(14292021008) Nur Ratnadilla
NIM(14292021012) Rosilawati
NIM(14292021016) Yusti Khaerani


Prodi D III Kebidanan Semester 2
Tahun Ajaran 2014/2015
KATA PENGANTAR

Alahamdulilah tiada kata-kata yang paling Indah selain ucapan syukur kepada Allah SWT. Karena izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSETARAAN GANDER. Solawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai qudwah dalam menjalani hidup ini.
Penulis menyadari keberhasilan tidak terlepas dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun material. Untuk itu dengan hati yang tulus Dan ikhlas penulis sampaikan rasa hormat Dan terimakasih kepada :

1.      Ibu Eni Anjarsari, SE ., selaku ketua yayasan STIKes Fatthir Husada.
2.      Bapak Rakhmat Gumilar Rukhman, S.Kp., M.Kes., selaku ketua STIKes Fatthir   Husada.
3.      Ibu Yusni Purwanti, M.Kes., Selaku dosen mata kuliah "Kesehatan Reproduksi"
4.      semua teman-teman satu perjuangan program pendidikan D III Kebidanan angkatan 2014

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu di perbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik Dan saran yang berguna demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang,  26 Maret 2015
Penyusun


Kelompok 1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………….……………………………………………………………………………….       i
DAFTAR ISI………………….…………………………………………………………………………       ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….      1
A.     Latar Belakang…………………..……………………………………………………………..    1
B.     Rumusan Masalah……………….……………………………………………………………    2
C.     Tujuan………………………………………..…………………………………………………….   2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………..       3
A.     Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gander………………………………     3
B.     Faktor-faktor penyebab Ketidaksetaraan  Gander di keluarga miskin………      4

BAB III PENUTUP………………..……..…………………..………………………………………       8
A.     Keimpulan……………………………………………………………………………………….   8
B.     Saran……………………………………..………………………………………………………..   8
DAFTAR PUSTAKA



  


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah gender differences antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi sosial kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Akan tetapi sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya : sifat gender laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi sosial itu membuat laki-laki terlatih dan termotivasi menuju dan mempertahankan sifat yang ditentukan tersebut yang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak kecil, sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan ideologi kaum perempuan, serta perkembangan fisik dan biologis mereka. Karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan, akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis ketentuan Tuhan
Persoalannya, jika konstruksi gender dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai kelompoklah yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya penuh dengan proses, negosiasi, retensi maupun dominasi. Akhirnya lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap alamiah, normal dan kodrat sehingga bagi mereka yang mulai melanggar dianggap tidak normal dan melanggar kodrat.
Keluarga merupakan unit social terkecil dalam masyarakat. Seperangkat peran dan fungsi melekat pada keluarga antara lain; biologis atau reproduksi, proteksi/perlindungan, ekonomi, edukasi, sosialisasi, afeksi, religi, rekreasi dan pengendalian social. Keberhasilan keluarga menjalankan seperangkat peran dan fungsinya akan berpengaruh pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Hal ini menunjukkan bahwa institusi keluarga  sangat berperan penting (krusial) bagi pembangunan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan mensejahterakan masyarakat dan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang dimaksud adalah manusia baik laki-laki maupun perempuan. Artinya dalam pembangunan, baik proses pembangunan maupun pemanfaatan hasil pembangunan, pemerintah tidak membedakan kali-laki dan perempuan.
Namun di berbagai sektor kehidupan banyak indikator menunjukkan perempuan tertinggal dibanding laki-laki dalam hal memperoleh kesempatan, peluang dan hasil-hasil pembangunan. Contoh kongrit dapat dilihat pada angka melek huruf, Angka Partisipasi Kerja, proporsi siswa/mahasiswa, dan juga dalam pengelolaan dan proses pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan gender di hampir seluruh sendi kehidupan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan gander?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidasetaraan gander? 

C.    Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ketidaksetaraan gander.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor-Faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gender
Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini menyebabkan sejumlah persoalan. Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, misalnya laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional, sedangkan kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Atau perempuan itu sebagai ’surgo nunut neraka katut’, perempuan itu sebagai konco wingking (teman di belakang) berfungsi 3 M (masak, macak, manak), meskipun M manak masih harus dipertahankan. Disamping itu juga ada anggapan bahwa pantangan bagi laku-laki untuk bekerja di dapur untuk memasak, mencuci maupun melakukan kegiatan rumah tangga karena rejekinya akan seret atau malah cupar
Kebanyakan mitos akan menguntungkan kaum laki-kali dan mendiskreditkan kaum perempuan. Semua contoh di atas sebenarnya disebabkan karena negara Indonesia menganut hukum hegemoni patriarki, yaitu kekuasaan ada pada garis bapak. Patriarki menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga dan ini berlanjut pada dominasi laki-laki dalam lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, dan lain sebagainya.
Selain hukum hegemoni patriarkis, ketidakseimbangan gender juga disebabkan karena sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang memiliki modal besar itulah yang menang. Hal ini mengakibatkan laki-laki yang dilambangkan lebih kuat daripada perempuan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar. Manifestasi ketidakadilan gender tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut merupakan kebiasaan dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat dan akhirnya diterima masyarakat secara umum.
Usaha yang harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender nampaknya bukan hanya sekedar bersifat individual, namun harus secara bersama dan bersifat institusional, utamanya dapi pihak-pihak yang berwewenang kekuasaan dan memegang peran dalam proses pembentukan gender. Untuk itu peranan pembuat kebijakan dan perencana pembangunan menjadi sangat penting dan menentukan arah perubahan menuju kesetaraan gender atau dapat dikatakan bahwa negara mempunyai peran dalam mewujudkan keseimbangan gender.
Dalam setiap perencanaan pembangunan, gender hendaknya dijadikan sebagai kunci utama dalam memahami kegiatan apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, siapa yang memutuskan, dan lain sebagainya. Perencana pembangunan hendaknya mampu menganalisis perbedaan peran kodrati dan peran gender sehingga mengetahui hal-hal yang dapat di ubah dan yang tidak dapat diubah serta mempertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan.
B.     Faktor-Faktor Penyebab Ketidak Setaraan Gander Di Keluarga Miskin
Kesenjangan gender dalam masyarakat muncul bukan karena unsur kesengajaan kali-laki semata tetapi ternyata berasal dari tradisi nenek moyang yang telah lama ada dan menjadi nilai budaya patriarkhi. Banyak faktor penyebab kesenjangan gender muncul dalam keluarga miskin. Berdasarkan hasil wawancara faktor kesenjangan gender dalam kelluarga miskin disebabkan oleh hal-hal yang akan diuraikan sebagai berikut:


a.      Konstruksi Sosial Budaya tentang  gender
Berdasarkan  hasil wawancara dengan informan Sri, budaya patriarkhi sudah ada sejak dahulu dan diteruskan sampai sekarang berikut pengakuan informan:
”Sebenernyo budaya lanang jadi dominan dalem masyrakat kito sekarang kan sudah ado sejak dulu, tapi ado yang cak di Padang yang betino lebih dihargoi oleh wong justru yang lanangnyo idak dihargoi, mungkin karno itu jugo karno sudah ado sejak dulu jadi yo sekarang neruske bae yang sudah ado”
”Sebenarnya budaya laki-laki jadi dominanan dalam masyarakat kita sekarang kan sudah ada sejak dahulu, tapi ada yang seperti di Padang yang perempuan labih dihargai oleh orang yang laki-lakinya tidak dihargai, mungkin karena itu juga karena sudah ada sejak dahulu ya jadi sekarang meneruskan saja yang sudah ada”

Sementara itu, informan Vera memberikan keterangan bahwa budaya patriarkhi sudah ada sejak nenek moyang. Berikut pengakuan informan;
”Pokoknyo sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ado kalu lanang itu jadi kepala keluargo, yo sampe mak ini ari cak itulah”
”Pokoknya sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ada kalau laki-laki itu jadi kepala keluarga, ya sampai sekarang seperti itulah”
Menurut informan Siska budaya patriarki yang ada dalam masyarakat sudah ada sejak dulu. Berikut penuturannya;
”Cak itulah kan sudah dari dulu kalu laki jadi pemimpin keluargo yo sudah....bapak aku dulu jugo samo bae, jadi sekarang aku sudah bekeluargo jalani bae apo yang sudah bejalan itu”
”Seperti itulah kan sudah dari dulu kalau suami jadi pemimpin keluarga ya sudah...bapak saya juga dulu sama saja, jadi sekarang saya sudah berkeluarga jalani saja apa yang sudah ada itu”



b.      Paham Agama Bias Gender
Informan  umumnya mengaku bahwa faham agama mengandung bias gender sepereti diperkenankannya laki-laki berpoligami. Mereka menolak jijka suami mereka berpoligami. Berikut pengakuan para informan:
 “Ai idak nian aku kalu dio bebini lagi.....gilo mada’i anak la banyak mak ini masih nak bebini lagi, lemak kalu kayo. Ini Cuma begawe jadi tukang becak nak bebini lagi nak dienjok makan apo, sedangke ini bae kurang”
 “Aduh saya tidak terima kalau dia (suami) punya istri lagi.....Gila anak sudah banyak seperti ini masih mau beristri lagi, enak kalau orang kaya. Ini Cuma bekerja jadi tukang becak mau beristri lagi mau dikasih makan apa, sedangkan sekarang saja masih kurang”
 “Idak apo kalu sanggup, aman pacak nak poligami dengan gaji 30 ribu sehari nyari nian aku betino mano yang galak, aman dak gilo”
 “ Tidak apa-apa kalau sanggup, kalau bisa mau poligami dengan gaji yang 30 ribu sehari, saya mau menemukan perempuan mana yang mau, kecuali kalau sudah gila”

 “Idak lah, dak boleh pokoknyo kalu dio nak poligami....kalu masih bae ceraike dulu aku baru boleh dio kawen lagi”
 “Tidak lah, pokoknya dia tidak boleh kalau dia mau poligami...kalau masih saja mau poligami ceraikan saya dulu baru dia (suami) menikah lagi”
 “Kalu poligami dalem agama kito kan diperbolehke, tapi ado syaratnyo kalu memang sanggup samo biso adil, tapi kalu memang belom sanggup dan dak biso adil lemak dak usahlah nak poligami”
 “Kalau poligami dalam agama kita akan diperbolehkan, tapi ada syaratnya kalau memang sanggup sama bisa adil, tapi kalau memang belum sanggup dan tidak bisa adil lebih baik tidak usah poligami”
Sementara itu, jika suami membatasi ruang gerak istri ada variasi jawaban dari para informan sebagai berikut;
 “Wajar bae sih....kan dio laki kito, jadi aman nak pegi kemano-mano nak izin samo dio tu, kalo dak boleh yo sudah”
 “Wajar saja sih..kan dia suami kita, jadi kalau ingin pergi kemana-mana harus izin sama dia (suami), kalau tidak boleh ya sudah”
 “Dak setuju aku, biarkelah kito ini kalu nak begawe tempat laen nyari lokak”
 “Tidak setuju saya, biarkan lah kita ini kalau mau bekerja tempat lain mencari kesempatan”
“Sebenernyo idak apo, tapi jangan dikekang nian oi....laju dak boleh keluar rumah, kalu bininyo tu nak begawe apo diluar kan lumayan nambai duit makan”
 “Sebenarnya tidak apa, tapi jangan dikekang sekali....lalu tidak boleh keluar rumah, mungkin saja istri mau bekerja apa diluar kan lumayan menambahi uang untuk makan”
“Sebenernyo jadi masalah jugo sih, sementaro laki kito meraso berhak untuk ngelakuke itu, tapi kito ne kan perlu lah nak ado nyari gawe lain diluar sano, untuk biso jago biar asep dapor tu tetep ado”
 “Sebenarnya jadi masalah juga sih, sementara suami kita merasa berhak untuk melakukan itu, tapi kita ini kan perlu lah mau mencari pekerjaan lain diluar sana untuk bisa menjaga agar asap dapur itu tetap ada”













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah gender differences antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi sosial kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Akan tetapi sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya : sifat gender laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi sosial itu membuat laki-laki terlatih dan termotivasi menuju dan mempertahankan sifat yang ditentukan tersebut yang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak kecil, sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan ideologi kaum perempuan, serta perkembangan fisik dan biologis mereka. Karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan, akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis ketentuan Tuhan.
Kesenjangan gender dalam masyarakat muncul bukan karena unsur kesengajaan kali-laki semata tetapi ternyata berasal dari tradisi nenek moyang yang telah lama ada dan menjadi nilai budaya patriarkhi.
                                                                                                               

B.     Saran

Seharusnya gender tidak mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar